PERKEMBANGAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI
APPROACHES
DETERMINISME TEKNOLOGI
TEKNOLOGI adalah salah satu elemen sosial ekonomi yang memainkan peranan penting dalam proses modernisasi masyarakat Barat. Ketika gagasan modernitas mengalir ke masyarakat dunia ketiga, teknologi menjadi prasyarat fundamental demi terwujudnya sistem sosial ekonomi yang modern di masyarakat tersebut. Oleh karena itu, berbagai upaya modernisasi masyarakat dunia ketiga mengikutsertakan program transfer teknologi dalam agenda utama.
Program ini bekerja atas dasar suatu asumsi bahwa teknologi bersifat netral dan bebas konteks; bahwa teknologi dapat bekerja melintasi batas-batas sosial, politik, dan kultural sehingga bersifat universal. Jika suatu teknologi dapat bekerja dengan baik di masyarakat Barat, dia pun akan bekerja dengan baik di masyarakat mana pun di muka bumi ini.
Selama puluhan tahun, gagasan transfer teknologi diterima tanpa sikap kritis oleh masyarakat dunia ketiga sebagai suatu keharusan dalam mencapai modernitas yang diinginkan. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa perkembangan teknologi di dunia ketiga tidak tercapai secara optimal. Implikasi program transfer teknologi bahkan memperkuat struktur ketergantungan teknologi dunia ketiga terhadap negara-negara Barat.
DETERMINISME TEKNOLOGI
Satu karakteristik kuat yang melandasi program transfer teknologi di dunia ketiga adalah determinisme teknologi yang menjadi titik pandang para pengembang teknologi dalam melihat relasi antara teknologi dan masyarakat. Determinisme teknologi berpusat pada kepercayaan bahwa penerapan teknologi Barat di masyarakat dunia ketiga akan memberi stimulus positif bagi bergeraknya sistem sosial menuju ke kondisi modernitas. Titik pandang ini melihat hubungan antara teknologi Barat dan masyarakat dunia ketiga sebagai relasi satu arah; masyarakat dunia ketiga wajib tunduk dan patuh pada sistem teknologi Barat.
Paradigma determinisme teknologi melandasi program-program pengembangan teknologi di dunia ketiga, khususnya di Indonesia ketika B.J. Habibie menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi. Dengan dukungan ekonomi politik dari institusi negara, gagasan transfer teknologi, atau dalam retorika Habibie, perebutan teknologi, diimplementasikan secara naif; masyarakat dijadikan subjek pasif dalam proses pengembangan teknologi.
Determinisme teknologi adalah konsep yang bermasalah karena memberikan perhatian yang begitu serius terhadap pengembangan teknologi tetapi menafikan faktor-faktor sosial yang bekerja ketika suatu masyarakat berinteraksi dengan teknologi tersebut. Keraguan terhadap determinisme teknologi telah dilontarkan oleh beberapa pemikir seperti Merrit Roe Smith, Leo Marx, David Noble, dan Andrew Feenberg karena konsep ini cenderung memaksakan bekerjanya sistem teknologi pada masyarakat yang menghasikan dampak sosial, politik, dan kultural yang sangat serius.
TEKNOLOGI DAN MASYARAKAT
Untuk melihat dengan bijak permasalahan teknologi di dunia ketiga, kita membutuhkan setidaknya tiga pemahaman yang mendalam tentang relasi antara teknologi dan masyarakat. Konsep pertama adalah apa yang disebut oleh sejarawan teknologi Thomas Hughes sebagai sistem teknologi (technological system). Hughes menjelaskan bahwa bekerjanya suatu teknologi dengan baik adalah hasil dari interaksi saling mendukung antara sistem teknikal (technical systems) dan sistem sosial (social systems). Hughes yang mempelajari proses elektrifikasi di Amerika Serikat pada akhir abad 19 mengatakan bahwa dalam bekerjanya suatu sistem teknologi, sistem teknikal dan sistem sosial saling membentuk satu sama lain.
Dengan menggunakan konsep sistem teknologi yang ditawarkan oleh Hughes, kita dapat melihat gagalnya program transfer teknologi di dunia ketiga sebagai akibat tidak bertemunya sistem teknologi Barat dengan sistem sosial masyarakat dunia ketiga. Bagi para penganut determinisme teknologi, sistem sosial masyarakat dunia ketiga-lah yang mestinya didekonstruksi mengikuti sistem teknologi Barat. Argumen ini dilandasi suatu asumsi bahwa teknologi yang dihasilkan oleh negara Barat adalah produk rasionalitas yang sempurna dan sudah teruji kemampuannya dalam memajukan masyarakat Barat.
Pada kenyataannya, mengubah sistem sosial masyarakat dunia ketiga agar sesuai dengan sistem teknologi Barat bukanlah pekerjaan mudah karena adanya inersi yang bekerja dalam sistem sosial. Pemaksaan pengoperasian teknologi Barat di masyarakat dunia ketiga yang tidak kompatibel dengan sistem sosial dunia ketiga pada akhirnya menimbulkan berbagai bencana teknologi (technological disasters). Tragedi Bhopal di India yang menelan ribuan korban adalah salah satu pelajaran penting bagaimana tidak bertemunya sistem sosial masyarakat lokal dengan sistem teknikal teknologi Barat menghasilkan kegagalan dalam pengoperasian teknologi.
Dimensi lain yang patut diperhatikan dalam melihat relasi antara teknologi Barat dan dunia ketiga adalah penggunaan teknologi untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Langdon Winner, seorang pemikir politik teknologi, menjelaskan bahwa agenda politik dapat masuk ke dalam konfigurasi teknologi. Contoh klasik yang ditawarkan oleh Winner adalah Jembatan Long Islands di daerah New York yang di desain oleh Robert Moses. Menurut Winner, Robert Moses dengan sengaja mendesain jembatan dengan begitu rendah agar kaum kelas bawah kulit hitam dan hispanik yang biasanya mengendarai bis kota tidak dapat memasuki daerah tersebut.
Penjelasan Winner tentang muatan politik dalam konfigurasi teknologi membangkitkan daya kritis kita untuk menyadari bahwa teknologi bukanlah suatu entitas yang netral. Sebagai karya manusia yang memiliki ideologi dan kepentingan tertentu, teknologi dapat menjadi media yang efektif bagi praktik hegemoni ideologi dan kepentingan tersebut. Dengan melihat relasi antara teknologi Barat dan masyarakat dunia ketiga kita dapat mengatakan bahwa konfigurasi teknologi Barat yang selama ini diserap oleh dunia ketiga melanggengkan kepentingan-kepentingan Barat di dunia ketiga.
Pemahaman relasi antara teknologi dan masyarakat juga dapat mengacu pada apa yang ditawarkan oleh sosiolog teknologi seperti Wiebe Bijker, Trevor Pinch, dan John Law dengan apa yang mereka sebut sebagai konstruksi sosial teknologi (social construction of technology). Konsep ini memahami teknologi sebagai produk sosial karena dia dihasilkan melalui negosiasi dan interaksi yang terjadi dalam suatu sistem sosial. Tesis utama konstruksi sosial teknologi adalah bahwa perkembangan teknologi bukanlah linear seperti yang dianut dalam determinisme teknologi, melainkan jauh lebih kompleks dan sangat beragam mengikuti keberagaman sistem sosial yang ada.
Pemahaman bahwa teknologi dikonstruksi secara sosial membuka pandangan kita bahwa teknologi Barat bukanlah satu-satunya bentuk teknologi yang dapat dibangun oleh peradaban manusia. Teknologi Barat hanyalah salah satu dari sekian banyak alternatif bentuk sistem teknologi yang dapat dibangun oleh manusia sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Pengembangan teknologi yang semata-mata beorientasi pada teknologi Barat justru menyangkal keberagaman sistem sosial dan kreativitas manusia dalam menghasilkan artefak-artefak teknologis yang bermanfaat.
TRANSLASI TEKNOLOGI
Dalam melihat permasalahan teknologi di dunia ketiga, yang perlu dicermati adalah paradigma transfer teknologi yang menganggap bahwa teknologi dapat diterapkan dengan begitu saja dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain. Paradigma demikian ingkar pada fakta bahwa teknologi selalu berada dalam konteks sosial, politikal, dan kultural. Walaupun demikian, patut dicatat bahwa mengkritisi penggunaan teknologi Barat dalam masyarakat dunia ketiga bukanlah berarti menolak sama sekali teknologi Barat dan menjadi antiteknologi.
Pada hakikatnya tidak ada satupun kelompok manusia di muka bumi yang dapat lepas dari teknologi, apa pun bentuknya. Teknologi adalah karya manusia dalam menanggulangi keterbatasan-keterbatasan mereka dalam alam. Yang membutuhkan perhatian serius saat ini adalah persoalan bagaimana masyarakat dunia ketiga mampu membangun teknologi yang sesuai dengan sistem sosial dan nilai kultural yang mereka miliki, bukan dengan mengubah sistem sosial dan nilai kultural mereka.
Di sini konsep translasi teknologi (technology translation) yang ditawarkan oleh Joan Fujimura menjadi menarik. Konsep ini lahir dari studi Fujimura terhadap masyarakat Jepang dalam membangun teknologi mereka. Pada prinsipnya suatu teknologi dibangun atas hasil interpretasi manusia terhadap suatu kondisi; teknologi disusun atas makna yang menjadi dasar pengoperasiannya. Oleh karena itu, teknologi dapat dianggap sebagai suatu bahasa yang ketika berpindah dari satu masyarakat ke masyarakat lain mengalami penyelarasan sesuai dengan karakter dan logika berpikir yang digunakan dalam sistem bahasa tersebut.
Menurut Fujimura, keberhasilan pengembangan teknologi di Jepang bukanlah semata-mata karena kemampuan mereka menguasai pengetahuan teknologi Barat, melainkan bersumber dari kemampuan mereka untuk mentranslasi makna-makna yang terkandung dalam sistem teknologi Barat ke dalam sistem sosial dan nilai kultural masyarakat Jepang. Dengan demikian, pengembangan teknologi tidak lagi merujuk semata-mata pada sistem materialitasnya, tetapi lebih pada jaringan sistem sosial dan nilai kultural yang berada di balik semua itu.***
Referensi
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0703/24/0804.htm
Masalah Teknologi di Dunia Ketiga